Kode Etik Jurnalistik menempatkan independensi sebagai prinsip pertama yang harus dimiliki jurnalis, juga media, dalam menjalankan profesinya. Sebagai mata dan telinga masyarakat, sikap independen jurnalis dan media sangat penting agar publik bisa mengambil tindakan berdasarkan informasi yang betul-betul obyektif, bukan dari informasi yang lahir karena keberpihakan jurnalis dan media terhadap kepentingan kelompok tertentu –apakah itu kepentingan pemilik media atau pemasang iklan.
Sikap profesional juga tak kalah penting bagi jurnalis dan media. Adanya Kode Etik Jurnalistik, sebagai bagian dari etika profesi, sejatinya diharapkan dapat menjadi panduan bagi jurnalis dalam menjalankan profesinya, dan media saat mengoperasionalkan medianya. Salah satu sikap profesional yang disebut tegas dalam kode etik adalah tak menyalahgunakan profesi dan tak menerima suap. Prinsip-prinsip penting ini memang merupakan soal yang menjadi kepedulian -–kalau bukan keprihatinan-- komunitas media setelah era Orde Baru.
Tantangan yang dihadapi media saat ini relatif berbeda dengan di masa Orde Baru. Negara, yang di masa lalu merupakan momok penting bagi kebebasan pers melalui sensor dan pembredelan, kini tak seperkasa dulu. Namun, ancaman sensor dan intervensi tak lantas menghilang. Saat ini, sensor itu bisa datang dengan cara dan oleh pelaku yang berbeda. Salah satunya adalah dari pemasang iklan dan pemilik media. Inilah yang menjadi salah satu tantangan besar bagi independensi dan profesionalisme media saat ini.
Pasca reformasi, sejarah pers di Indonesia mengalami banyak kejadian yang signifikan yaitu berkembangnya kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi para wartawan, dan peningkatan jumlah penerbit pers yang luar biasa. Data terakhir dari SPS menunjukkan, jumlah media cetak di Indonesia mencapai 829. Angka yang luar biasa.
Sikap profesional juga tak kalah penting bagi jurnalis dan media. Adanya Kode Etik Jurnalistik, sebagai bagian dari etika profesi, sejatinya diharapkan dapat menjadi panduan bagi jurnalis dalam menjalankan profesinya, dan media saat mengoperasionalkan medianya. Salah satu sikap profesional yang disebut tegas dalam kode etik adalah tak menyalahgunakan profesi dan tak menerima suap. Prinsip-prinsip penting ini memang merupakan soal yang menjadi kepedulian -–kalau bukan keprihatinan-- komunitas media setelah era Orde Baru.
Tantangan yang dihadapi media saat ini relatif berbeda dengan di masa Orde Baru. Negara, yang di masa lalu merupakan momok penting bagi kebebasan pers melalui sensor dan pembredelan, kini tak seperkasa dulu. Namun, ancaman sensor dan intervensi tak lantas menghilang. Saat ini, sensor itu bisa datang dengan cara dan oleh pelaku yang berbeda. Salah satunya adalah dari pemasang iklan dan pemilik media. Inilah yang menjadi salah satu tantangan besar bagi independensi dan profesionalisme media saat ini.
Pasca reformasi, sejarah pers di Indonesia mengalami banyak kejadian yang signifikan yaitu berkembangnya kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi para wartawan, dan peningkatan jumlah penerbit pers yang luar biasa. Data terakhir dari SPS menunjukkan, jumlah media cetak di Indonesia mencapai 829. Angka yang luar biasa.
Namun masih banyak masalah di balik capaian-capaian itu. Kebebasan pers tidak serta merta berhubungan lurus dengan profesionalisme dan independensi media massa. Masih banyak terjadi praktek-praktek jurnalistik yang melanggar kode etik jurnalistik. Salah satunya adalah hubungan yang tidak profesional antara jurnalis dengan pemerintah.
Survei AJI pada 2008 yang meliputi 80 media di 17 kota menunjukkan situasi yang masih sangat menyedihkan menyangkut kesejahteraan jurnalis. Dari 400 responden yang diwawancarai, sebagian besar gaji jurnalis berada pada rentang Rp 600 ribu – Rp 999 ribu/bulan (22,5%), Rp 1 juta – Rp 1,399 juta/bulan (25%), dan Rp 1,4 juta – 1,799 juta/bulan (16,5%). Mereka yang bergaji adi atas Rp 5 juta/bulan hanya berjumlah 1,3%. Bahkan masih ada jurnalis yang digaji di bawah Rp 200 ribu.
Kesejahteraan yang rendah merupakan pemicu munculnya praktik pemberian suap kepada jurnalis, selain keinginan politik dari pemerintah untuk mengontrol berita. Simbiosis tidak profesional itu masih terjadi. Survey yang sama dari AJI menunjukkan bahwa sekitar 65% jurnalis menerima suap (amplop).