MAHKAMAH KONSTITUSI:PASANGAN SUKA HAMDI AKHIRNYA BERHASIL MELENGGANG KE KURSI BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN TEBO *MONEY POLITIC TIDAK MENGARAH PADA PELANGGARAN SECARA TERSTRUKTUR ,SISTIMATIS, DAN MASIF*DALIL-DALIL KEBERATAN PASANGAN YOPI-SAPTO TIDAK TERBUKTI DAN TIDAK BERDASARKAN HUKUM * HUMAS PROVINSI KEBOBOLAN BERITA ISTRI GUBERNUR AKIBATNYA NAMA BAIK GUBERNUR JAMBI TERCEMAR*SAMISAKE:100 juta untuk pendidikan di tiap kabupaten*WAKIL GUBERNUR:Arah Pembangunan Provinsi Jambi berwawasan Lingkungan*SAMISAKE:22 Milyar untuk bedah rumah di tiap kabupaten*Pemerintah Jambi beri bantuan dana 3,6 milyar untuk renovasi gedung Taman Budaya*Warga masih saja mengeluh soal pelayanan PDAM Tirta Mayang *HBA optimes Jambi Emas terwujud*2011 Pemerintah Jambi gulirkan dana bantuan 5 juta untuk Pengrajin*Pemprov Jambi dan PTPN VI bersama membangun Jambi*SAMISAKE:Satu Milyar Satu Kecamatan * Anggota Korpri harus Netral *

2/28/2011

Kode Etik Menjaga Independensi



            Kode Etik Jurnalistik menempatkan independensi sebagai prinsip pertama yang harus dimiliki jurnalis, juga media, dalam menjalankan profesinya. Sebagai mata dan telinga masyarakat, sikap independen jurnalis dan media sangat penting agar publik bisa mengambil tindakan berdasarkan informasi yang betul-betul obyektif, bukan dari informasi yang lahir karena keberpihakan jurnalis dan media terhadap kepentingan kelompok tertentu –apakah itu kepentingan pemilik media atau pemasang iklan.
           
Sikap profesional juga tak kalah penting bagi jurnalis dan media. Adanya Kode Etik Jurnalistik, sebagai bagian dari etika profesi, sejatinya diharapkan dapat menjadi panduan bagi jurnalis dalam menjalankan profesinya, dan media saat mengoperasionalkan medianya. Salah satu sikap profesional yang disebut tegas dalam kode etik adalah tak menyalahgunakan profesi dan tak menerima suap. Prinsip-prinsip penting ini memang merupakan soal yang menjadi kepedulian -–kalau bukan keprihatinan-- komunitas media setelah era Orde Baru.
            Tantangan yang dihadapi media saat ini relatif berbeda dengan di masa Orde Baru. Negara, yang di masa lalu merupakan momok penting bagi kebebasan pers melalui sensor dan pembredelan, kini tak seperkasa dulu. Namun, ancaman sensor dan intervensi tak lantas menghilang. Saat ini, sensor itu bisa datang dengan cara dan oleh pelaku yang berbeda. Salah satunya adalah dari pemasang iklan dan pemilik media. Inilah yang menjadi salah satu tantangan besar bagi independensi dan profesionalisme media saat ini.
           
Pasca reformasi, sejarah pers di Indonesia mengalami banyak kejadian yang signifikan yaitu berkembangnya kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi para wartawan, dan peningkatan jumlah penerbit pers yang luar biasa. Data terakhir dari SPS menunjukkan, jumlah media cetak di Indonesia mencapai 829. Angka yang luar biasa.
            Namun masih banyak masalah di balik capaian-capaian itu. Kebebasan pers tidak serta merta berhubungan lurus dengan profesionalisme dan independensi media massa. Masih banyak terjadi praktek-praktek jurnalistik yang melanggar kode etik jurnalistik. Salah satunya adalah hubungan yang tidak profesional antara jurnalis dengan pemerintah. 
            Survei AJI pada 2008 yang meliputi 80 media  di 17 kota menunjukkan situasi yang masih sangat menyedihkan menyangkut kesejahteraan jurnalis. Dari 400 responden yang diwawancarai, sebagian besar gaji jurnalis berada pada rentang Rp 600 ribu – Rp 999 ribu/bulan (22,5%), Rp 1 juta – Rp 1,399 juta/bulan (25%), dan Rp 1,4 juta – 1,799 juta/bulan (16,5%). Mereka yang bergaji adi atas Rp 5 juta/bulan hanya berjumlah 1,3%. Bahkan masih ada jurnalis yang digaji di bawah Rp 200 ribu.
            Kesejahteraan yang rendah merupakan pemicu munculnya praktik pemberian suap kepada jurnalis, selain keinginan politik dari pemerintah untuk mengontrol berita. Simbiosis tidak profesional itu masih terjadi. Survey yang sama dari AJI menunjukkan bahwa sekitar 65% jurnalis menerima suap (amplop).


Independensi Jurnalis




Oleh Ilham MHD Yasir
(Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru)

            "... DI tangan-orang yang moralitasnya rendah, kebebasan pers menjadi kebebasan menjual berita sesuai selera pasar. Di tangan wartawan busuk, kebebasan pers menjadi kebebasan memperdagangkan berita sebagai sebuah komoditas".          Demikian T Yulianti mengakhiri opininya di Kompas, Februari 2004 yang dikutipnya dari buku News For Sale milik Malon Mangahas, seorang mantan redaktur Manila Times.
           
            Sementara Tony Kleden, menulis "... dalam jurnalistik, berlaku hukum tak tertulis. Wajah media adalah wajah pengelolanya. Medianya baik tentu pengelolanya profesional. Medianya setengah-setengah tentu pengelolanya juga setengah-setengah hati. Medianya amburadul, tentu seperti itulah kondisi sang pengelolanya."

Pengertian Independensi
            Berasal dari kata Independen. Dalam bahasa Inggris diartikan sebagai ”Independent” (merdeka, mandiri, tidak bergantung dengan orang lain) dan  ”Independence”  (kemerdekaan, kemandirian).[1]  Jurnalis independen adalah jurnalis yang mandiri, merdeka dan tak bergantung kepada pihak mana pun. Ia punya sikap mandiri untuk mempertahankan prinsip kebenaran (lihat 9 Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach (mantan jurnalis Atlanta Journal Constitution) dan Tom Rotesentiel (mantan jurnalis The Los Angeles Times)).[2]  
           
            Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merumuskan Independensi berdasarkan Deklarasi Sirnagalih, 7 Agustus 2004 bahwa Pers Indonesia   menolak segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor, dan pembredelan pers yang mengingkari kebebasan berpendapat dan hak warga negara memperoleh informasi. Bahwa pers Indonesia berangkat dari pres perjuangan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta melawan kesewenang-wenangan. Kemerdekaan ini oleh AJI dituntut dengan menolak wadah tunggal organisasi profesi wartawan (jurnalis).[3]


               

            


Menjaga Independensi



            Ada beberapa prinsip, tapi satu hal yang paling penting adalah: wartawan (atau bagian redaksi) harus memegang kata akhir untuk urusan berita – bukan bagian bisnis. Bukan juga pemilik surat kabar. ”Ini merupakan prinsip yang jelas!” kata Bill Kovach. ”Aturan ada pada saya, dan kami akan memveto advertorial jika kami melihat ada masalah di sana. Kami juga harus melihat untuk memastikan mereka diberi label iklan secara pantas,” kata Redaktur Eksekutif Washington Post Leonard Downie Jr, tentang bagaimana mereka menegakkan independensi tersebut.
            Bagi wartawan senior Andreas Harsono sering memberi contoh bagaimana prinsip dan praktik independensi ditegakkan. Suatu saat dia diminta mengonsep dan kelak mengelola sebuah majalah politik. ”Seperti Atlantic Monthly itulah,” kata pengasuh Yayasan Pantau yang dulu mengelola majalah Pantau ini. Majalah yang dirujuk itu menulis isu-isu politik hangat, dengan analisa yang tajam tetapi dengan bahasa yang mudah dicerna.
            Selesai hitung-hitungan modal, Andreas mengajukan satu syarat penting: redaksi harus independen dari pemilik modal, termasuk boleh mengkritik dan memberitakan kalau pemilik modal salah. Pemodal sulit menerima syarat ini. Saya tak tahu apakah karena syarat itu kemudian majalah tersebut belum terbit sampai saat ini. Tapi, bagi Andreas sepertinya memang lebih baik tidak terbit daripada harus berkompromi dalam hal independensi ini.
            Dapat dibayangkan bagaimana ”tersiksa” redaksi ketika pemilik modal memanfaatkan suratkabarnya untuk kepentingan lain, bisnis di luar media misalnya. Saya membayangkan bagaimana independensi sudah benar-benar hilang ketika berita-berita di suratkabar diarahkan untuk menekan pihak-pihak lain demi kepentingan si pemilik modal. Ini adalah pelecehan pada kebebasan pers.
            Kita pasti ingat dengan adagium ini: Kemerdekaan pers adalah milik masyarakat. Kemerdekaan itu dipinjamkan dan dipakai oleh pekerja pers, untuk melayani masyarakat si pemilik kemerdekaan itu. Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999 menegaskan itu: Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.[1] (Pasal 4 Ayat 1).


                [1] Lihat pasal 4 (1) UU No 40/1999 tentang Pers


2/20/2011

Gubernur beri penghargaan pada tujuh penulis cilik



Jambi, Gubernur Jambi Drs. H. Hasan Basri Agus, MM, memberikan penghargaan kepada delana penulis cilik Jambi yang telah berhasil meneribitkan Antologi Cerpen “Kesomobongan Fira”. Penghargaan diserahkan gubernur pada acara peluncuran buku tersebut, Sabtu (29/1) bertempat di Yayasan Pendidikan Nurul “Ilmi, di jalan Julius Usman Kelurahan Pematang Sulur Kota Jambi.
Delapan penulis cilik yang sekolah di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dan Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Nurul ‘Ilmi yang mendapatkan penghargaan dari gubernur ini masing-masing terdiri dari; Dina Pratiwi pelajar kelas V yang menghasilkan cerpen berjudul “Kesombongan Fira”, Nurul Anisah kelas V dengan cerpen berjudul “Surat Rahasia”, Wulan Anisa dengan cerpen “My Mom is HERO”, Siti Ramadina kelas VII dengan cerpen “Cinta yang Kesepuluh”, Abdan Malaka kelas VI dengan cerpen “A Happy Family”, Jihan Romadhan kelas IV dengan judul cerpen “Perjuangan Untuk Sahabat”, Rafli Khairul Anam kelas VI dengan judul cerpen “13 Februari Bina” dan Mega Juita kelas VI yang menghasilkan cerpen “pengakuan terindah”.
Seusasi acara peluncuran Antologi Cerpen “Kesomobongan Fira, gubernur menyampaikan rasa bangganya atas prestasi yang telah ditunjukkan kedelapan anak-anak Jambi tersebut, “ yang pertama, saya merasa bangga atas perkembanagan daeri Yayasan Pendidikan Islam Terpadu Nurul ‘Ilmi atas kreasi dan kreaktivitas dalam meningkatkan sumberdaya anak-anak kita, dan yang kedua yang lebih membanggakan prestasi yang telah ditunjukkan oleh anak-anak kita yang belajar di sekolah ini, seperti delapan anak tadi yang telah berhasil menerbitkan buku kumpulan cerpen, yang isinya sangat bagus, berbobot dan mendidik, saya sudah sempat membaca sebagian” jelas gubernur.
Disampaikan juga oleh gubernur, buku kumpulan cerpen yang dihasilkan anak-anak ini, saat ini baru diedarkan di lingkungan sekolah, kedepan akan diusahan untuk memasarkan ke sekolah-sekolah yang ada di Jambi, dan hal ini sudah dibicarakan dengan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, karena di Dinas tersedia dana pengadaan buku,  disamping harus diusahakan mendapatkan hak cipta bagi kedelapan anak-anak ini, dengan demikian tentunya anak-anak ini sudah bisa memperoleh pengahasilan. Dengan demikian maka ini akan membuat anak-anak akan semakin terpacu untuk lebih kreaktif, dengan demikian diharapkan akan menjadi pemicu bagi sekolah-sekolah lainnya, baik negeri maupun swasta untuk bisa meraih prestasi, baik di tingkat daerah, nasional bahkan lebih dari itu.  
Sedangkan Kepala Dinas pendidikan Provinsi Jambi Idham Kholid, pada kesempatan ini menyampaikan apresiasinya atas prestasi yang diraih para pelajar di sekolah Nurul ‘Ilmi ini, disamping delapan anak yang telah berhaisl menerbitkan kumpulan cerpen, ada juga siswanya yang telah berhasil meraih juara penulisan puisi tingkat nasional dan meraih piala Presiden RI, kemudian pinalis lomba melukis tingkat nasional. Bahkan pada kesempatan ini juga telah diperlihatkan oleh anak-anak yang telah menampilkan beberapa kreaktivitas termasuk tiga anak yang membawakan acara pada acara ini, terlihat demikian baiknya dalam membawakan acara, masing-masing berbahasa Indonesia, Ingris dan Arab.
Sebelumnya Ketua Yayasan Pendidikan Islam Terpadu Nurul ‘Ilmi, Hendri Mansyur menyampaikan, bahwa apa yang dihasilkan anak-anak adalah sepenuhnya kreasi anak-anak, mulai dari menulis, ilustrasi dan sampulnya. Dan apa yang dihasilkan memang apa yang ditemua anak-anak sehari-hari, ujarnya. Namun tidak semua bisa menulis runtun seperti apa yang dihasilkan anak-anak tersebut. (Sunarto)


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More